Minggu, 02 Januari 2011

legenda-naga-erau-dan-putri-karang-melenu



Pada zaman dahulu kala di kampung Melanti, Hulu Dusun, berdiamlah sepasang suami istri yakni Petinggi Hulu Dusun dan istrinya yang bernama Babu Jaruma. Usia mereka sudah cukup lanjut dan mereka belum juga mendapatkan keturunan. Mereka selalu memohon kepada Dewata agar dikaruniai seorang anak sebagai penerus keturunannya.

Suatu hari, keadaan alam menjadi sangat buruk. Hujan turun dengan sangat lebat selama tujuh hari tujuh malam. Petir menyambar silih berganti diiringi gemuruh guntur dan tiupan angin yang cukup kencang. Tak seorang pun penduduk Hulu Dusun yang berani keluar rumah, termasuk Petinggi Hulu Dusun dan istrinya.

Pada hari yang ketujuh, persediaan kayu bakar untuk keperluan memasak keluarga ini sudah habis. Untuk keluar rumah mereka tak berani karena cuaca yang sangat buruk. Akhirnya Petinggi memutuskan untuk mengambil salah satu kasau atap rumahnya untuk dijadikan kayu bakar.

Ketika Petinggi Hulu Dusun membelah kayu kasau, alangkah terkejutnya ia ketika melihat seekor ulat kecil sedang melingkar dan memandang kearahnya dengan matanya yang halus, seakan-akan minta dikasihani dan dipelihara. Pada saat ulat itu diambil Petinggi, keajaiban alam pun terjadi. Hujan yang tadinya lebat disertai guntur dan petir selama tujuh hari tujuh malam, seketika itu juga menjadi reda. Hari kembali cerah seperti sedia kala, dan sang surya pun telah menampakkan dirinya dibalik iringan awan putih. Seluruh penduduk Hulu Dusun bersyukur dan gembira atas perubahan cuaca ini.

Ulat kecil tadi dipelihara dengan baik oleh keluarga Petinggi Hulu Dusun. Babu Jaruma sangat rajin merawat dan memberikan makanan berupa daun-daun segar kepada ulat itu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, ulat itu membesar dengan cepat dan ternyata ia adalah seekor naga.

Suatu malam, Petinggi Hulu Dusun bermimpi bertemu seorang putri yang cantik jelita yang merupakan penjelmaan dari naga tersebut.
“Ayah dan bunda tak usah takut dengan ananda.” kata sang putri, “Meskipun ananda sudah besar dan menakutkan orang di desa ini, izinkanlah ananda untuk pergi. Dan buatkanlah sebuah tangga agar dapat meluncur ke bawah.”

Pagi harinya, Petinggi Hulu Dusun menceritakan mimpinya kepada sang istri. Mereka berdua lalu membuatkan sebuah tangga yang terbuat dari bambu. Ketika naga itu bergerak hendak turun, ia berkata dan suaranya persis seperti suara putri yang didengar dalam mimpi Petinggi semalam.
“Bilamana ananda telah turun ke tanah, maka hendaknya ayah dan bunda mengikuti kemana saja ananda merayap. Disamping itu ananda minta agar ayahanda membakar wijen hitam serta taburi tubuh ananda dengan beras kuning. Jika ananda merayap sampai ke sungai dan telah masuk kedalam air, maka iringilah buih yang muncul di permukaan sungai.”

Sang naga pun merayap menuruni tangga itu sampai ke tanah dan selanjutnya menuju ke sungai dengan diiringi oleh Petinggi dan isterinya. Setelah sampai di sungai, berenanglah sang naga berturut-turut 7 kali ke hulu dan 7 kali ke hilir dan kemudian berenang ke Tepian Batu. Di Tepian Batu, sang naga berenang ke kiri 3 kali dan ke kanan 3 kali dan akhirnya ia menyelam.

Di saat sang naga menyelam, timbullah angin topan yang dahsyat, air bergelombang, hujan, guntur dan petir bersahut-sahutan. Perahu yang ditumpangi petinggi pun didayung ke tepian. Kemudian seketika keadaan menjadi tenang kembali, matahari muncul kembali dengan disertai hujan rintik-rintik. Petinggi dan isterinya menjadi heran. Mereka mengamati permukaan sungai Mahakam, mencari-cari dimana sang naga berada.



Tiba-tiba mereka melihat permukaan sungai Mahakam dipenuhi dengan buih. Pelangi menumpukkan warna-warninya ke tempat buih yang meninggi di permukaan air tersebut. Babu Jaruma melihat seperti ada kumala yang bercahaya berkilau-kilauan. Mereka pun mendekati gelembung buih yang bercahaya tadi, dan alangkah terkejutnya mereka ketika melihat di gelembung buih itu terdapat seorang bayi perempuan sedang terbaring didalam sebuah gong. Gong itu kemudian meninggi dan tampaklah naga yang menghilang tadi sedang menjunjung gong tersebut. Semakin gong dan naga tadi meninggi naik ke atas permukaan air, nampaklah oleh mereka binatang aneh sedang menjunjung sang naga dan gong tersebut. Petinggi dan istrinya ketakutan melihat kemunculan binatang aneh yang tak lain adalah Lembu Swana, dengan segera petinggi mendayung perahunya ke tepian batu.

Tak lama kemudian, perlahan-lahan Lembu Swana dan sang naga tenggelam ke dalam sungai, hingga akhirnya yang tertinggal hanyalah gong yang berisi bayi dari khayangan itu. Gong dan bayi itu segera diambil oleh Babu Jaruma dan dibawanya pulang. Petinggi dan istrinya sangat bahagia mendapat karunia berupa seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Bayi itu lalu dipelihara mereka, dan sesuai dengan mimpi yang ditujukan kepada mereka maka bayi itu diberi nama Puteri Karang Melenu. Bayi perempuan inilah kelak akan menjadi istri raja Kutai Kartanegara yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti.

Demikianlah mitologi Kutai mengenai asal mula Naga Erau yang menghantarkan Putri Junjung Buih atau Putri Karang Melenu, ibu suri dari raja-raja Kutai Kartanegara.

Sumber :

http://mtsox.wordpress.com/2008/11/25/legenda-naga-erau-dan-putri-karang-melenu/

Legenda Ikan Emas Ajaib(dongeng)

Dongeng dari Rusia




Zaman dahulu kala, di sebuah pulau bernama Buyan, tinggalah sepasang kakek dan nenek yang sangat miskin. Pekerjaan si Kakek adalah mencari ikan di laut. Meski hampir setiap hari kakek pergi menjala ikan, namun hasil yang didapat hanya cukup untuk makan sehari-hari saja.
Suatu hari ketika si Kakek sedang menjala ikan, tiba-tiba jalanya terasa sangat berat. Seperti ada ikan raksasa yang terperangkap di dalamnya.
“Ah, pasti ikan yang sangat besar,” pikir si Kakek.
Dengan sekuat tenaga si Kakek menarik jalanya. Namun ternyata tidak ada apapun kecuali seekor ikan kecil yang tersangkut di jalanya. Rupanya ikan kecil itu bukan ikan biasa, badannya berkilau seperti emas dan bisa berbicara seperti layaknya manusia.
“Kakek, tolong lepaskan aku. Aku akan mengabulkan semua permintaanmu!” kata si Ikan Emas.
Si kakek berpikir sejenak, lalu katanya, “Aku tidak memerlukan apapun darimu, tapi aku akan melepaskanmu. Pergilah!”
Kakek melepaskan ikan emas itu kembali ke laut, lalu dia pun kembali pulang. Sesampainya di rumah, Nenek menanyakan hasil tangkapan Kakek.
“Hari ini aku hanya mendapatkan satu ekor ikan emas, dan itu pun sudah aku lepas kembali,” kata Kakek, “aku yakin kalau itu adalah ikan ajaib, karena dia bisa berbicara. Katanya dia akan memberiku imbalan jika aku mau melepaskannya.”
“Lalu apa yang kau minta,” tanya Nenek.
“Tidak ada,” kata Kakek.
“Oh, alangkah bodohnya!” seru Nenek. “Setidaknya kau bisa meminta roti untuk kita makan. Pergilah dan minta padanya!”
Maka dengan segan kakek kembali ke tepi pantai dan berseru:
“Wahai Ikan Emas Ajaib, datanglah kemari… Kabulkan keinginan kami!”
Tiba-tiba si Ikan Emas muncul di permukaan laut. “Apa yang kau inginkan, kek?” katanya.
“Istriku marah padaku, berikan aku roti untuk makan malam, maka dia akan memaafkanku!” pinta si Kakek.
“Pulanglah! Aku telah mengirimkan roti yang banyak ke rumahmu,” kata si Ikan.
Maka pulanglah si kakek. Setibanya di rumah, didapatinya meja makan telah penuh dengan roti.
Tapi istrinya masih tampak marah padanya, katanya:
“Kita telah punya banyak roti, tapi wastafel kita rusak, aku tidak bisa mencuci piring. Pergilah kembali ke laut, dan mintalah ikan ajaib memberikan kita wastafel yang baru!” kata Nenek.
Terpaksa si Kakek kembali ke tepi laut dan berseru:
“Wahai Ikan Emas Ajaib, datanglah kemari…. Kabulkan keinginan kami! “Ups!” Ikan Emas muncul, “Apa lagi yang kau inginkan, Kek?”
“Nenek menyuruhku memintamu agar memberikan kami wastafel yang baru,” pinta Kakek.
“Baiklah,” kata Ikan. “Kau boleh memiliki wastafel baru juga.”
Si Kakek pun kembali pulang. Belum lagi menginjak halaman, si Nenek sudah menghadangnya.




“Pergilah lagi! Mintalah pada si Ikan Emas untuk membuatkan kita sebuah rumah baru. Kita tidak bisa tinggal di sini terus, rumah ini sudah hampir roboh.”
Maka si Kakek pun kembali ke tepi laut dan berseru:
“Wahai Ikan Emas Ajaib, datanglah kemari… Kabulkan keinginan kami!”
Dalam sekejap ikan emas itu muncul di hadapan si Kakek, “Apa yang kau inginkan lagi, Kakek?”
“Buatkanlah kami rumah baru!” pinta Kakek, “istriku sangat marah, dia tidak ingin tinggal di rumah kami yang lama karena rumah itu sudah hampir roboh.”
“Tenanglah, Kek! Pulanglah! Keinginanmu sudah kukabulkan.”
Kakek pun pulang. Sesampainya di rumah, dilihatnya bahwa rumahnya telah menjadi baru. Rumah yang indah dan terbuat dari kayu yang kuat. Dan di depan pintu rumah itu, Nenek sedang menunggunya dengan wajah yang tampak jauh lebih marah dari sebelumnya.
“Dasar Kakek bodoh! Jangan kira aku akan merasa puas hanya dengan membuatkanku rumah baru ini. Pergilah kembali, dan mintalah pada Ikan Emas itu bahwa aku tidak mau menjadi istri nelayan. Aku ingin menjadi nyonya bangsawan. Sehingga orang lain akan menuruti keinginanku dan menghormatiku!”
Untuk kesekian kalinya, si Kakek kembali ke tepi laut dan berseru:
“Wahai Ikan Emas Ajaib, datanglah kemari… Kabulkan keinginan kami!”
Dalam sekejap ikan emas itu muncul di hadapan si kakek, “Apa yang kau inginkan lagi, Kakek?”
“Istriku tidak bisa membuatku tenang. Dia bahkan semakin marah. Katanya dia sudah lelah menjadi istri nelayan dan ingin menjadi nyonya bangsawan,” pinta Kakek.
“Baiklah. Pulanglah! Keinginanmu sudah dikabulkan!” kata Ikan Emas.


Alangkah terkejutnya si Kakek ketika kembali ternyata kini rumahnya telah berubah menjadi sebuah rumah yang megah. Terbuat dari batu yang kuat, tiga lantai tingginya, dengan banyak sekali pelayan di dalamnya. Si Kakek melihat istrinya sedang duduk di sebuah kursi tinggi sibuk memberi perintah kepada para pelayan.
“Halo istriku,” sapa si Kakek.
“Betapa tidak sopannya,” kata si Nenek. “Berani sekali kau mengaku sebagai suamiku. Pelayan! Bawa dia ke gudang dan beri dia 40 cambukan!”
Segera saja beberapa pelayan menyeret si Kakek ke gudang dan mencambuknya sampai si Kakek hampir tidak bisa berdiri. Hari berikutnya istrinya memerintahkan Kakek untuk bekerja sebagai tukang kebun. Tugasnya adalah menyapu halaman dan merawat kebun.
“Dasar perempuan jahat!” pikir si kakek. “Aku sudah memberikan dia keberuntungan tapi dia bahkan tidak mau mengakuiku sebagai suaminya.”
Lama kelamaan si Nenek bosan menjadi nyonya bangsawan, maka dia kembali memanggil si Kakek: “Hai lelaki tua, pergilah kembali kepada ikan emasmu dan katakan ini padanya: aku tidak mau lagi menjadi nyonya bangsawan, aku mau menjadi ratu.”
Maka kembalilah si kakek ke tepi laut dan berseru:
“Wahai Ikan Emas Ajaib, datanglah kemari… Kabulkan keinginan kami!”
Dalam sekejap Ikan Emas itu muncul di hadapan si Kakek, “Apa yang kau inginkan lagi, Kakek?”
“Istriku semakin keterlaluan. Dia tidak ingin lagi menjadi nyonya bangsawan, tapi ingin menjadi ratu.”
“Baiklah. Pulanglah! Keinginanmu sudah dikabulkan!” kata ikan emas.
Sesampainya kakek di tempat dulu rumahnya berdiri, kini tampak olehnya sebuah istana beratap emas dengan para penjaga berlalu lalang. Istrinya yang kini berpakainan layaknya seorang ratu berdiri di balkon dikelilingi para jenderal dan gubernur. Dan begitu dia mengangkat tangannya, drum akan berbunyi diiringi musik dan para tentara akan bersorak-sorai.
Setelah sekian lama, si nenek kembali bosan menjadi seorang ratu. Maka dia memerintahkan para jenderal untuk menemukan si Kakek dan membawanya ke hadapannya. Seluruh istana sibuk mencari si Kakek. Akhirnya mereka menemukan Kakek di kebun dan membawanya menghadap ratu.
“Dengar lelaki tua! Kau harus pergi menemui ikan emasmu! Katakan padanya bahwa aku tidak mau lagi menjadi ratu. Aku mau menjadi dewi laut sehingga semua laut dan ikan-ikan di seluruh dunia menuruti perintahku.”
Kakek terkejut mendengar permintaan istrinya, dia mencoba menolaknya. Tapi apa daya nyawanya adalah taruhannya, maka dia terpaksa kembali ke tepi laut dan berseru:
Wahai Ikan Emas Ajaib, datanglah kemari… Kabulkan keinginan kami!
Kali ini si Ikan Emas tidak muncul di hadapannya. Kakek mencoba memanggil lagi, namun si ikan emas tetap tidak mau muncul di hadapannya. Dia mencoba memanggil untuk ketiga kalinya. Tiba-tiba laut mulai bergolak dan bergemuruh. Dan ketika mulai mereda muncullah si Ikan Emas, “Apa yang kau inginkan lagi, Kakek?”
“Istriku benar-benar telah menjadi gila,” kata Kakek. “Dia tidak mau lagi menjadi ratu tapi ingin menjadi dewi laut yang bisa mengatur lautan dan memerintah semua ikan.”
Si Ikan Emas terdiam dan tanpa mengatakan apapun dia kembali menghilang ke dalam laut.
Si Kakek pun terpaksa kembali pulang. Dia hampir tidak percaya pada penglihatannya ketika menyadari bahwa istana yang megah dan semua isinya telah hilang. Kini di tempat itu, berdiri sebuah gubuk reyot yang dulu ditinggalinya. Dan di dalamnya duduklah si Nenek dengan pakaiannya yang compang-camping. Mereka kembali hidup seperti dulu. Kakek kembali melaut.
Namun seberapa kerasnya pun dia bekerja. hasil yang didapat hanya cukup untuk makan sehari-hari saja.
dikutip dari:
http://paskalina.wordpress.com/2010/04/19/dongeng-ikan-emas-ajaib/

Senin, 20 Desember 2010

Ikan Pari yang Mirip Wajah Manusia

sumber:http://www.krucil.com/showthread.php?t=20503


Nelayan ini menemukannya di pesisir pantai Nangro Aceh Darussalam. Jika Allah berhendak inilah keajaiban yang bisa terjadi ada ikan pari yang mirip dengan wajah manusia.


Bahaya Memancing Di Kutub

legenda ikan patin



Ikan patin adalah salah satu jenis ikan sungai atau air tawar. Ikan jenis ini memiliki bentuk yang unik. Badannya panjang sedikit memipih, berwana putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan, tidak bersisik, mulutnya kecil, memiliki sungut berjumlah 2-4 pasang yang berfungsi sebagai alat peraba. Ikan patin termasuk ikan yang hidup di dasar sungai dan lebih banyak mencari makan pada malam hari.

Ikan patin banyak dijumpai di Provinsi Riau, Indonesia. Menurut masyarakat setempat, dulunya ikan ini hanya ada di daerah aliran Sungai Indragiri, Sungai Siak, Sungai Kampar, dan Sungai Rokan. Ikan patin yang asli adalah berasal dari sungai dan memiliki aroma khas. Selain itu, ikan patin yang dari sungai biasanya memiliki ukuran lebih panjang dan lebih berat. Pada era tahun 1970-an hingga 1980-an, masyarakat Riau masih sering menjumpai ikan patin yang panjangnya sampai satu meter lebih.

Kini, ikan patin yang asli dari sungai sudah jarang dijumpai. Maka sejak 10 tahun terakhir, budidaya ikan patin sudah mulai ramai dilakukan oleh masyarakat Riau. Namun, hasilnya sangat berbeda dengan ikan asli dari sungai. Ikan patin hasil budidaya ukurannya lebih pendek dan ringan, rata-rata hanya sepanjang 25-50 centimeter dengan berat kurang dari satu kilogram dan terkadang masih berbau tanah. Walaupun demikian, jika ikan patin tersebut dimasak dengan bumbu yang benar, mencium aromanya saja sudah mampu menggugah selera bagi penikmatnya. Oleh karenanya, di sejumlah warung makan di Riau, menu masakan ikan patin menjadi salah satu menu favorit khas Melayu, khususnya masakan gulai ikan patin dan asam pedas ikan patin.


Namun, senikmat dan segurih apa pun ikan patin, tidak semua orang Melayu mau memakannya. Kenapa sebagian orang Melayu tidak mau memakan ikan patin? Mereka menganggap ikan patin itu sebagai keluarga atau leluhurnya. Terkait dengan hal ini, ada sebuah cerita rakyat yang telah melegenda di kalangan masyarakat Riau. Cerita rakyat tersebut mengisahkan seorang nelayan yang bernama Awang Gading, yang menemukan seorang bayi perempuan di atas batu di tepi sungai saat ia pulang memancing. Konon, bayi itu adalah keturunan raja ikan di sungai tersebut. Oleh karena merasa iba, si nelayan membawa bayi itu pulang ke rumahnya untuk ia rawat dan besarkan. Bayi itu diberinya nama Dayang Kumunah. Selama dalam asuhannya, si Nelayan membekali Dayang Kumunah dengan berbagai ilmu pengetahuan dan budi pekerti yang baik, sehingga ia pun tumbuh menjadi seorang gadis cantik yang cerdas dan berbudi pekerti luhur. Setiap pemuda yang melihatnya akan terpikat kepadanya.

Pada suatu hari, seorang pemuda tampan dan kaya yang bernama Awangku Usop lewat di depan rumah Dayang Kumunah. Pemuda itu melihatnya sedang menjemur pakaian. Saat itu pula, Awangku Usop langsung jatuh hati kepada Dayang Kumunah dan berniat memperistrinya. Beberapa hari kemudian, Awangku Usop datang ke rumah Dayang Kumunah untuk meminangnya. Dayang Kumunah bersedia menerima pinangan Awang Usop, asalkan ia juga bersedia memenuhi syaratnya. Syarat apa yang akan diajukan Dayang Kumunah kepada Awang Usop? Mampukah Awang Usop memenuhi syarat itu? Ingin tahu kisah selengkapnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Legenda Ikan Patin berikut ini.

* * *

Alkisah, pada zaman dahulu kala, di Tanah Melayu hiduplah seorang nelayan tua yang bernama Awang Gading. Ia tinggal seorang diri di tepi sebuah sungai yang luas dan jernih. Walaupun hidup seorang diri, Awang Gading selalu merasa bahagia. Ia mensyukuri setiap nikmat yang diberikan Tuhan kepadanya. Pekerajaan sehari-harinya adalah menangkap ikan di sungai dan mencari kayu di hutan.

Suatu sore, sepulang dari hutan, Awang Gading pergi mengail di sungai. “Ah, semoga hari ini aku mendapat ikan besar,” gumam Awang Gading. Usai melemparkan kailnya ke dalam air, ia berdendang sambil menunggu kailnya. Berapa saat kemudian, umpannya pun di makan ikan. Dengan hati-hati disentakkannya kail itu. Apa yang terjadi? Ternyata ikannya terlepas. Lalu dipasangnya lagi umpan pada mata kailnya. Berkali-kali umpannya di makan ikan, namun saat kailnya ditarik, ikannya terlepas lagi.

“Air pasang telan ke insang
Air surut telan ke perut
Renggutlah…!
Biar putus jangan rabut,”

terdengar dendang Awang Gading sambil melempar pancingnya kembali.

Hari sudah mulai gelap. Namun, tak seekor ikan pun yang diperolehnya. “Rupanya, aku belum beruntung hari ini,” gumam Awang Gading. Usai bergumam, Awang Gading pun bergegas pulang. Namun, baru saja melangkah, tiba-tiba ia mendegar tangisan bayi. Dengan perasaan takut, Awang Gading mencari asal suara itu. Tak lama mencari, ia pun menemukan bayi perempuan yang mungil tergolek di atas batu. Tampaknya bayi itu baru saja dilahirkan oleh ibunya. Anak siapa gerangan? Kasihan, ditinggal seorang diri di tepi sungai,” Ucap Awang Gading dalam hati. Oleh karena merasa iba, dibawanya bayi itu pulang ke gubuknya.

Malam itu juga Awang Gading membawa bayi ke rumah tetua kampung. “Awang, berbahagialah, karena kamu dipercaya raja penghuni sungai untuk memelihara anaknya. Rawatlah ia dengan baik,” Tetua Kampung berpesan. “Terima kasih, Tetua! Saya akan merawat bayi ini dengan baik. Semoga kelak menjadi anak yang cerdas dan berbudi pekerti yang baik,” jawab Awang Gading mengharap.

Keesokan harinya, Awang Gading mengadakan selamatan atas hadirnya bayi di tengah kehidupannya. Ia mengundang seluruh tetangganya. Awang Gading memberi nama bayi itu Dayang Kumunah. Usai acara tersebut, Awang Gading menimang-nimang sang bayi sambil mendendang, “Dayang sayang, anakku seorang…Cepatlah besar menjadi gadis dambaan.”

Kehadiran Dayang Kumunah dalam kehidupannya, membuat Awang Gading semakin giat bekerja. Ia sangat sayang dan perhatian terhadap Dayang. Awang Gading juga membekali Dayang Kumunah berbagai ilmu pengetuhan dan pelajaran budi pekerti. Setiap hari ia juga mengajak Dayang pergi mengail atau mencari kayu di hutan untuk mengenal kehidupan alam lebih dekat.

Waktu terus berjalan. Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi pekerti luhur. Ia juga sangat rajin membantu ayahnya. Namun sayang, Dayang Kumunah tidak pernah tertawa.

Suatu hari, seorang pemuda tampan dan kaya lewat di depan rumah Dayang. Pemuda itu bernama Awangku Usop. Saat melihat Dayang Kumunah sedang menjemur pakaian, Awangku Usop langsung jatuh hati kepadanya dan berniat untuk segera meminangnya.

Beberapa hari kemudian, Awangku Usop meminang Dayang Kumunah pada Awang Gading.

“Maaf, Tuan! Nama saya Awangku Usop. Saya dari desa sebelah,” kata Usop memperkenalkan diri.

“Ada apa gerangan, Ananda Awangku Usop?” tanya Awang Gading.

“Saya ke mari hendak meminang putri Tuan” pinang Awangku Usop.

Awang Gading tidak langsung memberikan jawaban. Keputusannya ada pada Dayang Kumunah. Lalu ia meminta pendapat Dayang Kumunah. “Anakku, Dayang! Bagaimana pendapatmu tentang pinangan Awangku Usop?” tanya Awang Gading pada Dayang yang sedang duduk di sampingya. Dayang Kumunah langsung menanggapi pinangan pemuda itu. “Kanda Usop, sebenarnya kita berasal dari dua dunia yang berbeda. Saya berasal dari sungai dan mempunyai kebiasaan yang berlainan dengan manusia. Saya bersedia menjadi istri kanda Usop, tetapi dengan syarat, jangan pernah meminta saya untuk tertawa,” pinta Dayang Kumunah. Awangku Usop menyanggupi syarat itu. “Baiklah! Saya berjanji untuk memenuhi syarat itu,” kata Awangku Usop.

Seminggu kemudian, mereka pun menikah. Pesta pernikahan mereka berlangsung meriah. Semua kerabat dan tetangga kedua mempelai diundang. Para undangan turut gembira menyaksikan kedua pasangan yang serasi tersebut. Dayang Kumunah gadis yang sangat cantik dan Awangku Usop seorang pemuda yang sangat tampan. Mereka pun hidup berbahagia, saling mencintai dan saling menyayangi.

Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Beberapa minggu setelah mereka menikah, Awang Gading meninggal dunia karena sakit. Dayang Kumunah sangat sedih kehilangan ayah yang telah mendidik dan membesarkannya, meskipun bukan ayah kandungnya sendiri. Hingga berbulan-bulan lamanya, hati Dayang Kumunah diselimuti perasaan sedih. Untungnya, kesedihan itu segera terobati dengan kelahiran anak-anaknya yang berjumlah lima orang. Kehadiran mereka telah menghapus ingatan Dayang Kumunah kepada “ayahnya”. Ia pun kembali bahagia hidup bersama suami dan kelima anaknya.

Namun, Awang Usop merasa kebahagiaan mereka kurang lengkap sebelum melihat Dayang Kumunah tertawa. Memang, sejak pertama kali bertemu hingga kini, Awang Usop belum pernah melihat istrinya tertawa.

Suatu sore, Dayang Kumunah berkumpul bersama keluarganya di teras rumah. Saat itu, si Bungsu mulai dapat berjalan dengan tertatih-tatih. Semua anggota keluarga tertawa bahagia melihatnya, kecuali Dayang Kumunah. Awang Usop meminta istrinya ikut tertawa. Dayang Kumunah menolaknya, namun suaminya terus mendesak. Akhirnya ia pun menuruti keinginan suaminya. Saat tertawa itulah, tiba-tiba tampak insang ikan di mulutnya. Menyadari hal itu, Dayang Kumunah segera berlari ke arah sungai. Awangku Usop beserta anak-anaknya heran dan mengikutinya.

Sesampainya di tepi sungai, perlahan-lahan tubuh Dayang Kumunah menjelma menjadi ikan dan segera melompat ke dalam air. Awang Usop pun baru menyadari kekhilafannya. “Maafkan aku, istriku! Aku sangat menyesal telah melanggar janjiku sendiri, karena memintamu untuk tertawa. Kembalilah ke rumah, istriku!” bujuk Awangku Usop.

Namun, semua sudah terlambat. Dayang Kumunah telah terjun ke sungai. Ia telah menjadi ikan dengan bentuk badan cantik dan kulit mengilat tanpa sisik. Mukanya menyerupai raut wajah manusia. Ekornya seolah-olah sepasang kaki manusia yang bersilang. Orang-orang menyebutnya ikan patin.

Sebelum menyelam ke dalam air, Dayang Kumunah berpesan kepada suaminya, “Kanda, peliharalah anak-anak kita dengan baik.”

Awangku Usop dan anak-anaknya sangat bersedih melihat Dayang Kumunah yang sangat mereka cintai itu telah menjadi ikan. Mereka pun berjanji tidak akan makan ikan patin, karena dianggap sebagai keluarga mereka. Itulah sebabnya sebagian orang Melayu tidak makan ikan patin.

* * *

Cerita rakyat di atas termasuk ke dalam cerita teladan yang mengandung nilai-nilai moral. Nilai-nilai tersebut di antaranya kewajiban mendidik anak, berbudi pekerti luhur, dan pantangan melanggar janji. Sifat kewajiban mendidik anak tercermin pada sifat Awang Gading yang telah mendidik dan membekali berbagai ilmu pengetahuan dan budi pekerti pada Dayang Kumunah. Sifat berbudi pekerti luhur tercermin pada sifat Dayang Kumunah. Meskipun cantik, ia tetap tidak sombong. Sementara itu pantangan yang dilanggar oleh Awangku Usop adalah melanggar janji. Ia telah mengingkari janjinya untuk tidak meminta Dayang Kumunah tertawa.

Mendidik anak dengan baik dan budi pekerti luhur patut untuk dijadikan sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi orang Melayu, mendidik anak adalah kewajiban orang tua, karena telah menjadi perintah ajaran agama dan adat lembaga. Mendidik dan memelihara anak tidak boleh diabaikan, karena kewajiban orang tua dalam mendidik anak tidak hanya dipertanggungjawabkan di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Oleh karena itu, sifat ini sangat diutamakan dalam kehidupan orang-orang Melayu. Banyak petuah amanah yang berkaitan dengan mendidik anak yang diwariskan dalam budaya Melayu, salah satu di antaranya adalah seperti berikut:

anak dididik sejak kecil
anak diajar sejak terpancar
anak dibela selamanya

Sementara sifat suka mengingkari janji sangat dipantangkan dalam kehidupan orang-orang Melayu, karena sifat ini termasuk salah satu ciri orang munafik. Petuah amanah tentang sifat munafik juga banyak diwariskan dalam budaya Melayu, di antaranya seperti berikut:

apa tanda orang munafik,
lidah bercabang, akal berbalik

(SM/sas/42/11-07)

Sumber:
Isi cerita diringkas dari Daryatun. 2006. Legenda Ikan Patin. Yogyakarta: AdiCita Karya Nusa.
Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit AdiCita Karya Nusa.
------, 1994/1995. “ ‘Ejekan‘ terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau.” Riau: Bappeda Tingkat I Riau.
Abdul Mu‘thi, Abu Muhammad. 2007. “Akhlak: Menepati Janji.” (http://asysyariah.com/syariah.php, diakses tanggal 12 November 2007).
Anonim. “Sejarah Singkat Ikan Patin.” (http://iptek.apjii.or.id/budidaya%20perikanan/PEMD/Patin/, diakses tanggal 12 November 2007)
Anonim. 2007. “Ikan Patin Sungai Mahakam.” (http://jb2fishingclub.blogspot.com/2007/09/ikan-patin-sungai-mahakam.html, diakses tanggal 12 November 2007).
Triana, Neli. 2006. “Santap Ikan Patin di Bumi Melayu Riau”. Kompas. (http://www.kompas.co.id/jalanjalan/news/0604/17/104923.htm, diakses tanggal 12 November 2007.
Http://melayuonline.com

umpan ikan hidup

patin raksasa

sumber:Kompas
PALEMBANG — Seekor ikan patin (Pangasius hypothalmus) raksasa seberat 43 kg dengan panjang sekitar 1,3 meter berhasil ditangkap nelayan di Sungai Musi. Patin yang umurnya diperkirakan sekitar delapan tahun itu dijual pedagang ikan di Pasar Cinde seharga Rp 2,3 juta.

Ukuran ikan itu memang ekstrabesar, hampir sama tinggi dengan anak usia lima tahun. Lebar tubuh mencapai 40 cm. Perutnya mengelembung berisi telur sekitar 3 kg. Warnanya putih dan belang hitam di bagian punggung, terasa kenyal saat dipegang.

Dapat dibayangkan, untuk seokor patin ukuran 1 kg biasanya habis oleh tiga orang sekali makan. Berarti, ikan raksasa ini cukup untuk lauk makan 130 orang.

Ikan tersebut tergolek di atas lapak milik Heri (43) dan adiknya, Fendi (40), pedagang ikan di Pasar Cinde, Jumat (31/10). Namun, karena tidak ada yang sanggup membelinya, dimasukkan ke dalam kardus ukuran televisi 21 inch berisi bongkahan batu es. Keduanya kesulitan mengangkatnya.

Menurut Heri, selama lebih dari 20 tahun berdagang ikan di Pasar Cinde, baru kali ini ia mendapat ikan patin sungai seberat 43 kilogram. Ia mendapatkannya dari Yanto, seorang pengumpul ikan dari nelayan di kawasan Sungai Lais, sekitar pukul 08.00.

Ikan patin itu masih hidup saat dibawa ke pasar. Awalnya Yanto menawarkannya kepada Zairul, pedagang ikan lainnya. Namun, Zairul tidak sanggup membelinya karena Yanto menetapkan harga Rp 40.000 per kg atau sekitar Rp 1,6 juta.

"Kalau patin 30 kg itu biasa, kadang dapat kita. Namun, kalau sebesar anak SMP seperti ini baru luar biasa," kata Heri. Kehadiran ikan raksasa di lapak dua bersaudara ini sempat mengundang perhatian warga, bahkan sesama pedagang ikan pun sempat dibuat takjub. Memang ikan sebesar ini merupakan pemandangan yang tidak lazim.

"Ikan sebesar ini bukan dimakan buaya, tapi dia yang makan buaya," kata seorang pria yang mengamati patin itu dari dekat. Sumiati (47), seorang pegawai yang belanja ikan di Cinde mengaku kaget melihat ikan itu. Seumur hidupnya baru kali ini ia melihat ikan patin sebesar itu. "Tidak kuat mengambilnya, apalagi makannya. Mungkin untuk sedekahan makan 100 orang, ikan itu dak bakal habis," katanya.

Banyak warga yang mengambil gambar ikan raksasa itu menggunakan ponsel. Ada juga yang penasaran dan memencet tubuh ikan itu. Beberapa warga tertarik dan menanyakan harganya, tetapi urung karena Heri menyebut Rp 55.000 per kg.

Heri menolak ikan itu dipotong-potong. Karena kemarin tidak ada yang sanggup membelinya, ikan itu akan dijual ke Pekanbaru. "Kami bakal dapat untung besar karena harga ikan ini bisa sampai Rp 55.000 per kilo," ujar Heri.

Menurut dia, semakin besar ukuran ikan patin sungai, akan semakin mahal pula harganya. Harga ikan patin liar di bawah 5 kg dipatok Rp 40.000, tetapi kalau lebih, akan mencapai Rp 50.000- Rp 55.000 per kilo. Ikan patin sungai juga lebih mahal dari ikan patin tambak yang harganya berkisar Rp 30.000 per kilo.

Heri dan Fendi mengakui, meski tidak ada yang sanggup membelinya, ikan itu mendatangkan keuntungan lain. Sejak pagi ikan yang dipajang itu seperti menarik pembeli untuk singgah dan membeli ikan jenis lain di lapaknya.

Dihubungi terpisah, Yanto, pengumpul ikan yang menjual patin itu kepada Heri, mengatakan, patin raksasa seperti itu tergolong langka. Umurnya diperkirakan sekitar 7 atau 8 tahun. "Biasanya dagingnya lebih gurih dan gemuk. Cobalah kamu pasti merasakan bedanya, enak," katanya. (Aang/Wira)
Sriwijaya Post